Seri 1: Sekadar Cerita Di Waktu Luang

Seri 1: Bagaimana Ekor Kunang-Kunang Bisa Menyala?

            Dahulu kala, ketika manusia belum menemukan lampu; malam benar-benar gelap. Benar-benar tidak ada yang bisa dilihat. Sunyi. Senyap. Sama halnya menjejaki daerah pegunungan yang dingin serta minim pencahayaan. Sebut saja tempatnya bernama Pacet. Tempat terindah di daerah Jawa Timur, Indonesia. Negara Kepulauan terbesar di dunia. Manusia kerap datang ke sini untuk berwisata. Pemandangan nan elok, pepohonan yang rindang, dan udara sejuk, benar-benar sejuk. Sungguh. Disana hiduplah keluarga Si Kunang-Kunang.

Biasanya tempat yang dekat dengan genangan air disanalah Si Kunang-Kunang sering bermain, belajar, dan menghabiskan waktu sore dengan teman-teman yang lain. Tentu, keluarganya tidak hanya dari bangsanya, ada juga Si Cicak, Si Kupu-Kupu, dan Si Nyamuk, dan yang lainnya; namun sementara teman-temannya itu dulu.

Musik diputar dengan keras-kerasnya. Suara-suara itu berasal dari komposer-komposer terhebat zaman itu. Si Cicak, memiliki suara yang menghentak-hentak disertai dengan jeda. Si Kupu-Kupu menghasilkan suara-suara yang lembut dan nyaman didengar di telinga. Giliran terakhir, Si Nyamuk, aksinya yang ditunggu-tunggu, seperti apa musi Si Nyamuk? Ada yang tahu? Mungkin seperti suara sirine mobil ambulan tergesa-gesa menuju rumah pasien yang sedang sakit untuk dirawat. Ah…bukan-bukan. Atau mungkin seperti bunyi pesawat helicopter beranjak naik ke udara. Hmm…saya rasa pas. Nah…perpaduan musik itu rasanya kurang lengkap tanpa terdengarnya suara dari Si Kunang-Kunang. Sehingga membuat salah satu temannya untuk pergi menjemput ke rumahnya.
“Si Cicak. Kamu coba ke rumahnya. Ajak dia bermain disini. Cepatlah! Sebelum malam tiba.” ujar Si Kupu-Kupu.

Lantas, Si Cicak bergegas ke rumah Si Kunang-Kunang. Tiba-tiba Si Cicak berhenti mendadak. Dia ingat akan cerita-cerita tempo hari. Menjelang malam, Si Kunang-Kunang jarang ada di rumah. Si Cicak segera berputar arah menuju tempat biasa Si Kunang-Kunang pada sore hari berada. Dengan langkah cepat berderap-derap Si Cicak berjumpa dengan Si Kunang-Kunang. Nafasnya tampak tersengal-sengal. Disampaikanlah keinginan teman-temannya.
“Hai Si Cicak.  Kenapa kamu terburu-buru. Ada apa?” tanya Si Kunang-Kunang penasaran.
“Iya. Teman-teman menunggumu di balik pohon tempat biasa kita bermain. Ayo kita bergegas kesana sebelum malam tiba.” tukas Si Cicak yang kelelahan dan terlihat mengatur nafasnya.
“Baiklah. Tapi sebelumnya aku mau menaruh barang bawaanku ini ke rumah.”

Tanpa menunggu lama, mereka berdua seketika meninggalkan tempat itu. Setibanya di rumah Si Kunang-Kunang, perjalanan yang agak jauh itu membuat Si Cicak merasa kelalahan; alhasil hari beranjak malam. Jalanan mulai tampak remang-remang. Melihat hal itu, Si Cicak segera meningatkan Si Kunang-Kunang untuk bergegas ke tempat bermain. Menyadari hal yang sama, Si Kunang-Kunang sekelebat menaruh barang bawaannya itu ke dalam rumah.

Di tengah-tengah jalan, mereka berdua semakin diselimuti kegelapan.
“Si Kupu-Kupu. Mari kita pulang. Hari sudah petang, lihatlah!” Si Nyamuk mengingatkan.
“Bagaimana dengan Si Cicak dan Si Kunang-Kunang?” tanya Si Kupu-Kupu dengan khawatir.
“Sudahlah! Kita pulang saja. Nanti juga mereka pasti tidak akan kesini. Bagaimanapun juga hari kan sudah malam.”
“Tidak! Saya tetap menunggu di sini.” gusar Si Kupu-Kupu
“Ah! Ya sudah! Terserah.” jawab Si Nyamuk dengan kasar.

Tanpa menunggu lagi Si Nyamuk segera menghilang dari tempat itu; akan tetapi Si Kupu-Kupu tetap berada disana, seorang diri. Sedikit cemas memang, tapi dia tetap menunggu kedatangan Si Cicak dan Si Kunang-Kunang. Angin berhembus kencang. Suara-suara entah dari mana asalnya semakin membuat suasana menjadi mencekam. Si Kupu-Kupu tetap berada disana.
“Apa tidak sebaiknya kita kembali saja.” kata Si Cicak
“Ada siapa saja di sana?” Si Kunang-Kunang bertanya.
“Hanya ada Si Kupu-Kupu dan Si Nyamuk.” jawab Si Cicak.
“Kita temui dulu. Setelah itu kita balik pulang.” jawab Si Kunang-Kunang dengan tegas.

Kekhawatiran semakin bertambah tatkala jalan semakin tidak terlihat. Terlalu gelap. Si Cicak semakin gelisah. Keringat mengucur deras dari dahinya. Tanah semakin dingin dirasa. Begitu pula dengan Si Kunang-Kunang; rupanya dia sedang berdiam diri. Mencari jalan keluar. Tapi bagaiamana? Tanyanya dalam hati.
“Mereka pasti sudah pulang. Kita pulang saja ya?” gerutu Si Cicak.
“Pasti mereka masih disana.” Si Kunang-Kunang menjawab dengan yakin.

Karena hari semakin malam. Apa yang ada dihadapan semakin tak terlihat. Si Kunang-Kunang dan Si Cicak hanya duduk terdiam. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Usul Si Cicak menunggu sampai esok pagi; baru perjalanan dilanjutkan. Maklum tak ada bisa dilakukan lagi. Meski begitu Si Kunang-Kunang tidak berdiam diri. Tapi apa yang mesti dilakukannya. Dia sendiripun tak tahu harus melakukan apa.

Bulan purnama mulai terlihat. Matahari membantunya bersinar. Tanpa matahari mungkin bulan tidak akan pernah bersinar.
“Aha! Saya tahu jalan keluar dari masalah ini.” dengan tiba-tiba Si Kunang-Kunang berteriak, mengagetkan Si Cicak yang sedang tertidur lelap.
“Apa pagi sudah tiba? Dimana kita?” kata Si Cicak.
“Iya. Pagi sebentar lagi tiba.”

Lalu, Si Kunang-Kunang beranjak dari tempatnya dan terbang tinggi sekuat tenaga. Sementara itu Si Cicak heran dengan temannya itu. Si Kunang-Kunang tetap terbang tinggi, lebih tinggi, dan semakin tinggi. Selagi mengibaskan sayap-sayapnya, Si Kunang-Kunang mengambil sinar bulan dan menyimpannya di ekornya banyak-banyak. Setelah dirasa cukup, dia kembali ke tanah.
“Ikuti aku.” ajak Si Kunang-Kunang. Terbang tidak terlalu tinggi dari Si Cicak dengan ekor yang menyala. Membuat jalan yang ada didepan terlihat; meski jaraknya dekat. Sinar terang di ekor Si Kunang-Kunang itu akhirnya berfungsi sebagai petunjuk jalan. Si Cicak mengikuti kemana Si Kunang-Kunang terbang. Masih juga terheran-heran Si Cicak melihat kejadian itu. Bagaiamana bisa. Tapi, dia tetap mengikuti arah Si Kunang-Kunang pergi.

Tak lama setelah itu. Terlihat bayangan seekor Kupu-Kupu tengah terbaring kedinginan. Didekatinya Kupu-Kupu itu.
“Bangun! Bangun!”. kata Si Cicak membangunkan Si Kupu-Kupu; temannya.
Kaget, Si Kupu-Kupu terbangun dengan mata lembam dan gontai.
“Ah! Teman-teman. Saya percaya kalian pasti datang.” kata Si Kupu-Kupu
“Dimana Si Nyamuk?” tanya Si Cicak memutarkan pandangan
“Dia sudah pulang dari tadi.” jawab Si Kupu-Kupu.
“Baiklah. Mari kita pulang.” ajak Si Kunang-Kunang.

Sebenarnya Si Kupu-Kupu juga penasaran dengan Si Kunang-Kunang dan ekornya; tapi pertanyaan itu disimpannya untuk besok pagi. Mereka berjalan pulang menyusuri lembah kecil dengan diterangi sinar terang yang keluar dari Si Kunang-Kunang. Mereka tiba dirumah dengan selamat. Namun sebelum mereka beranjak dari tempat bermain itu…ada bunyi mirip Si Nyamuk dan keluarganya belum tertidur; menunggu kepulangannya.

Jalan di pegunungan tidak selamanya lurus.
Terkadang naik, terkadang turun, dan terkadang lurus.
Jika ingin naik, Si Kunang-Kunang sudah melakukannya.
Jika ingin turun, Si Nyamuk sudah memilihnya.

Begitu juga musim.
Ada yang panas, ada yang dingin.
Si Kupu-Kupu sudah melewatinya.
Meski gigil di dapatnya.

Sedang bulan, hanya beberapa hari saja purnama.
Setelah itu sirna.
Coba saja hari itu belum purnama.
Mungkin saja sampai saat ini Si Kunang-Kunang tidak dapat menyalakan ekornya.

Tinggalkan komentar